Kemegahan,Kekuasaan,Ambisi,Kekuatan Kerajaan Besar di Jawa Abad 600-1500 (Hindu-Budha)

Laman

01/06/11

Calon Arang


Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan bernama Kahuripan. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Sri Baginda Erlangga. Suatu ketika, ia mendapat laporan dari patihnya yang bernama Narottama bahwa sebagian besar rakyatnya terserang penyakit aneh. Mendengar laporan itu, Sri Baginda Erlangga segera memerintahkan Patih Narottama untuk menyelidiki penyebab penyakit aneh tersebut. Alhasil, setelah diselidiki, ternyata penyakit aneh tersebut disebarkan oleh seorang perempuan penyihir yang bernama Serat Asih atau lebih dikenal dengan nama Calon Arang yang tinggal di Desa Girah. Setiap malam, Calon Arang menyebarkan penyakit aneh tersebut kepada rakyat Kahuripan dengan ilmu sihirnya. Mengetahui hal itu, Sri Baginda Erlangga memerintahkan Patih Narottama agar segera menangkap perempuan penyihir itu.
“Wahai, Patih Narottama! Segera siapkan para prajurit pilihan untuk menangkap Calon Arang!” perintah Sri Baginda Erlangga.
Mendengar perintah itu, Patih Narottama pun segera menabuhbende atau canang (gong kecil) untuk mengundang para prajurit pilihan. Tak berapa lama kemudian, sekitar dua puluh prajurit pilihan telah berkumpul di alun-alun kerajaan. Pasukan tersebut dipimpin oleh tiga orang komandan, yaitu Wangsa Jaya, Pungga Mukti, dan Pungga Sasra.
“Ampun, Patih! Kami sudah siap menunggu perintah selanjutnya,” lapor komandan Wangsa Jaya usai memeriksa anak buahnya.
“Baiklah! Jika kalian sudah siap, ayo kita berangkat ke Desa Girah untuk menangkap Calong Arang!” seru Patih Narottama.
Setelah itu, Patih Narottama memimpin pasukan tersebut menuju Desa Girah. Sesampainya di desa itu, mereka pun segera merusak sebuah rumah tua yang diduga sebagai tempat tinggal Calon Arang. Calon Arang yang berada di dalam rumah itu segera keluar dengan sangat marah. Ia tidak terima dengan perlakuan pasukan kerajaan itu. Ia pun memerintahkan keempat orang muridnya, yaitu Supala, Guritna, Datyeng, dan Pitrah untuk mengusir mereka dari desa itu.
“Hai, murid-muridku! Usir mereka dari sini!” perintah Calong Arang.
Mendengar perintah itu, keempat murid Calong Arang tersebut segera menyerang pasukan kerajaan. Pertarungan sengit pun tak terelakkan lagi. Setelah beberapa saat pertarungan itu berlangsung, pasukan kerajaan pun terdesak. Melihat anak buahnya terdesak, Patih Narottama segera membantu. Namun, langkahnya dihadang oleh Calon Arang.
“Hai, Pak Tua! Hadapi aku kalau kamu berani!” tantang Calong Arang.
Tanpa berpikir panjang, Patih Narottama segera mencabut pedangnya lalu menebas leher Calon Arang hingga terputus. Anehnya, setiap kali ia menebas lehar Calon Arang, sesaat kemudian kepala Calon Arang yang jatuh ke tanah menyatu kembali dengan tubuhnya. Begitu tubuhnya kembali utuh, Calon Arang tertawa terbahak-bahak.
“Hi... hi... hi... hi... ! Kamu tidak akan sanggup membunuhku Pak Tua!” seru Calon Arang.
Patih Narottama tidak putus asa. Ia terus menebaskan pedangnya pada leher Calong Arang. Namun, Calon Arang tetap tidak bisa mati. Akhirnya, Pati Narottama memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kembali ke istana Kahuripan.
Mengetahui kegagalan Patih Narottama dan pasukannya tersebut, Sri Baginda Erlangga segera memanggil Empu Bharada yang merupakan adik sepupu Calon Arang. Tak berapa lama kemudian, Empu Bharada pun datang menghadap ke istana.
“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil hamba?” tanya Empu Bharada.
“Begini, Empu! Calon Arang telah membuat resah seluruh rakyat di negeri ini. Aku sudah memerintahkan patih dan para pasukan pilihan kerajaan untuk menangkapnya, namun mereka tidak sanggup menghadapi kesaktian Calon Arang. Hanya Empulah satu-satunya harapanku. Aku yakin, Empu akan mampu menangkapnya,” jawab Sri Baginda Erlangga.
“Baiklah, Baginda! Hamba bersedia memenuhi permintaan Baginda,” kata Empu Bharada seraya berpamitan sambil memberi hormat.
Setibanya di rumah, Empu Bharada memanggil muridnya yang bernama Bahula untuk mengatur siasat.
“Apa yang harus kita lakukan, Empu? Bukankah Calon Arang memiliki kesaktian yang tinggi?” tanya Bahula.
“Benar katamu, Bahula! Tapi, aku tahu kelemahannya. Rahasia kesaktian Calon Arang terdapat di dalam sebuah kitab pusaka. Aku yakin, kitab itu pasti disembunyikan di dalam rumahnya. Untuk itu, aku tugaskan kamu untuk mengambil kitab itu,” jawab Empu Bharada.
“Bagaimana caranya, Empu?” Bahula kembali bertanya.
“Begini, Bahula! Bukankah Calon Arang mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ratna Manggali? Nah, untuk mengambil kitab itu, kamu harus menikah dengannya. Setelah menjadi suaminya, tentu kamu akan tinggal di rumah Calon Arang. Dengan demikian, kamu bisa menyelidiki di mana kitab pusaka itu disembunyikan,” jawab Empu Bharada.
Mendengar penjelasan gurunya, Bahula terdiam sejenak. Ia memikirkan kekasihnya, Wedawati, yang tak lain adalah putri Empu Bharada.
“Bagaimana dengan Wedawati, Empu?” tanya Bahula.
“Demi ketenteraman negeri ini, aku merestuimu menikah dengan Ratna Manggali! Tapi, ingat! Jangan sampai hal ini diketahui oleh Wedawati!” ujar Empu Bharada.
Bahula pun bersedia menikahi anak gadis Calon Arang. Keesokan harinya, Bahula berpamitan kepada gurunya. Sebelum ia berangkat, Empu Bharada berpesan kepadanya agar segera kembali setelah berhasil mengambil kitab pusaka itu.
Setelah itu, berangkatlah Bahula ke Desa Girah untuk melamar Ratna Manggali. Sesampainya di desa itu, ia pun menyampaikan maksudnya kepada Calon Arang. Tanpa curiga sedikit pun, Calon Arang menerima lamarannya. Sehari kemudian, pestapernikahan Bahula dan Ratna Manggali dilangsungkan secara sederhana. Setelah menjadi suami Ratna Manggali, Bahula tinggal di rumah Calon Arang. Ia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyelidiki tempat kitab pusaka itu disimpan.
Pada suatu malam, ketika seluruh isi rumah sedang tertidur pulas, Bahula masuk ke kamar Calon Arang dengan langkah sangat hati-hati. Di dalam kamar itu, ia melihat sebuah peti berwarna coklat yang disimpan di dalam lemari.
“Hmmm... aku yakin kitab pusaka Calon Arang pasti disimpan di dalam peti itu,” kata Bahula dalam hati.
Dengan langkah perlahan-lahan, Bahula mengambil peti itu dan segera membawanya keluar dari kamar Calon Arang. Sebelum kembali tidur, ia memeriksa isi peti itu untuk memastikan apakah di dalamnya berisi kitab pusaka. Ternyata benar, peti itu berisi sebuah kitab yang sudah mulai usang.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bahula meminta izin kepada istri dan Calon Arang untuk menjenguk keluarganya di kampung. Calon Arang pun mengizinkannya tanpa curiga sedikit pun. Bahkan saat Bahula akan berangkat, ia mengantarnya sampai ke depan rumah.
Setelah Bahula pergi, Calon Arang kembali masuk ke kamarnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kitab pusakanya sudah tidak ada lagi di dalam lemari. Ia pun sadar bahwa Bahula telah mengambil kitab itu. Dengan marah, ia segera keluar dari rumahnya hendak mengejar Bahula. Namun, Bahula telah pergi meninggalkan desa itu.
Sementara itu, Bahula yang telah sampai di padepokannya segera menyerahkan kitab pusaka itu kepada Empu Bharada.
“Apakah kitab pusaka ini yang Empu maksud?” tanya Bahula seraya meletakkan peti itu di depan gurunya.
“Ya, Benar! Kekuatan sihir Calon Arang ada pada kitab ini,” jawab Empu Bharada setelah memeriksa isi peti itu.
“Baiklah, Bahula! Aku harus segera mempelajari isi kitab ini sebelum Calon Arang menyusul kemari,” kata Empu Bharada.
Usai mempelajari isi kitab pusaka tersebut, Empu Bharada memberitahukan kepada Bahula mengenai kelemahan Calon Arang.
“Menurut kitab ini, satu-satunya senjata yang bisa membunuh Calon Arang adalah keris Weling Putih,” ungkap Empu Bharada.
“Bukankah keris Weling Putih itu ada pada Empu?” tanya Bahula.
“Ya, kebetulan sekali, Bahula! Jadi, dengan keris itu kita dapat menghabisi nyawa Calon Arang dengan mudah,” jawab Empu Bharada sambil tersenyum.
Setelah mempersiapkan keris Weling Putihnya, Empu Bharada bersama Bahula datang menemui Calon Arang di Desa Girah. Setibanya mereka di sana, alangkah terkejutnya Calon Arang ketika melihat Bahula datang bersama Empu Bharada. Ia baru sadar, ternyata menantunya adalah murid Empu Bharada, adik sepupunya.
“Hai, Bahula! Rupanya kau telah memperdayaiku. Kamu menikah dengan anak gadisku karena hanya ingin mencuri kitab pusakaku. Ayo kembalikan kitab pusaka itu kepadaku!” seru Calong Arang dengan kesal.
“Maaf, Kang Ayu! Kami melakukan semua ini atas perintah Gusti Raja. Beliau tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat negeri ini karena penyakit aneh yang kamu sebarkan itu,” sahut Empu Bharada.
“Persetan dengan Gusti Raja! Kembalikan kitab pusaka itu!” seru Calon Arang.
Berkali-kali Calon Arang meminta agar kitab pusakanya dikembalikan kepadanya, namun Empu Bharada tetap menolak untuk memberikannya. Kemarahan Calon Arang pun semakin memuncak. Tiba-tiba ia menyerang Empu Bharada dengan ilmu sihirnya. Dengan cepat, Empu Bharada mencabut keris Weling Putih yang terselip di pinggangnya untuk menangkis sihir itu. Setelah berhasil menangkis sihir itu, Empu Bharada hendak berbalik menyerang. Namun baru saja ia mengacung-acungkan kerisnya, tiba-tiba Calon Arang berteriak meminta ampun karena takut pada keris itu.
“Ampun, Dimas! Ampunilah aku!” pinta Calon Arang menghiba.
“Hai, Calon Arang! Walaupun kau adalah kakak sepupuku, kau tetap musuhku. Kau telah membuat rakyat di negeri ini menderita. Lebih baik kamu mati saja!” seru Empu Bharada seraya menghujamkan keris Weling Putihnya ke tubuh Calon Arang.
Akhirnya, Calon Arang pun tewas. Sepeninggal Calon Arang, Bahula tetap menjadi suami Ratna Manggali. Konon, Bahula juga menikah dengan kekasihnya, Wedawati. Sejak kematian Calon Arang, penyakit aneh yang menimpa rakyat Kahuripan serta merta hilang. Mereka pun kembali hidup damai dan sejahtera.
* * *

Ande-ande lumut dan Kleting Kuning bersatunya kerajaan kembar



Sebuah kisah, di daerah Jawa Timur, Indonesia, berdirilah dua buah kerajaan kembar, yaitu Kerajaan Jenggala yang dipimpin oleh Raja Jayengnegara dan Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Jayengrana. Menurut cerita, dahulunya kedua kerajaan tersebut berada dalam satu wilayah yang bernama Kahuripan. Sesuai dengan pesan Airlangga sebelum meninggal, kedua kerajaan tersebut harus disatukan kembali melalui suatu ikatan pernikahan untuk menghindari terjadinya peperangan di antara mereka. Akhirnya, Panji Asmarabangun (putra Jayengnegara) dinikahkan dengan Sekartaji (Putri Jayengrana).


Pada suatu ketika, Kerajaan Jenggala tiba-tiba diserang oleh kerajaan musuh. Di saat pertempuran sengit berlangsung, Putri Dewi Sekartaji melarikan diri dan bersembunyi ke sebuah desa yang jauh dari Jenggala. Untuk menjaga keselamatan jiwanya, ia menyamar sebagai gadis kampung dan mengabdi kepada seorang janda yang kaya raya bernama Nyai Intan. Nyai Intan mempunyai tiga orang putri yang cantik dan genit. Mereka adalah Kleting Abang (sulung), Kleting Ijo, dan Kleting Biru (bungsu). Oleh Nyai Intan, Dewi Sekartaji diangkat menjadi anak dan diberi nama Kleting Kuning.

Di rumah Nyai Intan, Kleting Kuning selalu disuruh mengerjakan seluruh perkerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Ia sering dibentak oleh Nyai Intan dan diperlakukan tidak senonoh oleh ketiga kakak angkatnya. Bahkan, ia terkadang diberi makan sehari satu kali oleh ibu angkatnya.

Sementara itu, di Kerajaan Jenggala, Panji Asmarabangun bersama pasukannya berhasil memukul mundur pasukan musuh. Namun, ia sangat sedih karena istrinya telah pergi meninggalkan istana Jenggala dan tidak ditahui keberadaannya.

Setelah keadaan di Kerajaan Jenggala kembali tenang dan aman, sang Pangeran memutuskan untuk mencari istrinya. Namun sebelum itu, ia memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mencari jejak kepergian istrinya. Suatu sore, ketika ia sedang duduk di pendopo istana, datanglah seorang pengawalnya untuk menyampaikan laporannya.

“Ampun, Baginda! Hamba ingin menyampaikan berita gembira untuk Baginda,” lapor pengawal itu.

“Apakah kamu telah mengetahui keberadaan istriku?” tanya Panji Asmarabangun dengan tidak sabar.

“Ampun, Baginda! Hamba hanya menemukan seorang gadis yang mirip dengan isti Baginda di sebuah dusun. Namun, hamba belum yakin dia itu istri Baginda, karena ia hanya seorang gadis kampung yang bekerja sebagai pembantu pada seorang janda kaya,” jelas pengawal itu.

Mendengar laporan itu, sang Pangeran pun memutuskan untuk menyamar menjadi seorang pangeran tampan yang sedang mencari jodoh. Keesokan harinya, berangkatlah ia bersama beberapa orang pengawalnya ke Desa Dadapan yang berada di dekat Sungai Bengawan Solo, Lamongan. Desa itu berseberangan dengan desa tempat tinggal Kleting Kuning.

Di desa itu, Panji Asmarabangun menyamar dengan nama Ande Ande Lumut dan tinggal di rumah seorang janda tua bernama Mbok Randa. Beberapa hari kemudian, ia pun memerintahkan para pengawalnya agar pengumuman sayembara mencari jodoh itu segera disebarkan kepada seluruh pelosok desa. Dalam waktu singkat, berita tentang pelaksanaan sayembara itu tersebar hingga ke desa seberang, desa tempat tinggal Kleting Kuning.

Betapa senangnya hati Kleting Abang, Ijo, dan Biru mendengar kabar itu. Mereka akan berdandan sencantik-cantiknya untuk menaklukkkan hati sang Pangeran Tampan, Ande Ande Lumut.

“Asyik… Asyik...!!! Kita akan berdandan secantik-cantiknya. Kalau salah seorang di antara kita menjadi putri raja, ibu pasti akan senang,” kata Kleting Abang.

Pada hari sayembara itu dimulai, Kleting Abang, Ijo, dan Biru pun segera berdandan dengan sangat mencolok. Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan perhiasan yang indah. Saat mereka sedang asyik berdandan, Kleting Kuning mendekati mereka.

“Wah, kalian cantik sekali!” puji Kleting Kuning.

“Hai, Kleting Kuning! Apakah kamu ingin mengikuti sayembara juga?” tanya Kleting Abang.

“Ah, tidak mungkin! Baju pun kamu tak punya. Apakah kamu mau ikut sayembara dengan baju seperti itu?” sahut Kleting Ijo dengan mencela.

“Benar, kamu tidak pantas ikut sayembara ini! Lebih baik kamu di rumah mengurus semua pekerjaanmu. Ayo, pergilah ke sungai mencuci semua pakaian kotor itu!” seru Kleting Biru sambil menunjuk ke pakaian ganti mereka yang sudah kotor.

Kleting Kuning segera mengumpulkan pakaian kotor itu lalu pergi ke sungai. Sebenarnya, ia pun tidak tertarik untuk mengikuti sayembara itu, karena ia masih teringat kepada suaminya, Panji Asmarabangun. Ia akan selalu setia kepada suaminya meskipun belum mendengar kabar tentang keadaannya apakah masih hidup atau sudah tewas dalam peperangan. Ketika ia sedang mencuci di sungai, tiba-tiba seekor burung bangau datang menghampirinya. Anehnya, burung bangau itu dapat berbicara layaknya manusia dan kedua kakinya mencengkram sebuah cambuk.

“Wahai, Tuan Putri! Pergilah ke Desa Dedapan mengikuti sayembara itu! Di sana Tuan Putri akan bertemu dengan Panji Asmarabangun. Bawalah cambuk ini! Jika sewaktu-waktu Tuan Putri membutuhkan pertolongan, Tuan Putri boleh menggunakannya,” ujar sang burung bangau seraya meletakkan cambuk itu di atas batu di dekat Kleting Kuning.

Belum sempat Kleting Kuning berkata apa-apa, burung bangau itu sudah terbang ke angkasa dan seketika itu pula menghilang dari pandangan mata. Tanpa berpikir panjang lagi, Kleting Kuning pun segera kembali ke rumah dan bersiap-siap berangkat menuju Desa Dadapan.

Sementara itu, ketiga saudara dan ibu angkatnya telah berangkat terlebih dahulu. Kini mereka telah sampai di tepi Sungai Bengawan Solo. Mereka kebingungan, karena harus menyeberangi sungai yang luas dan dalam itu, sementara tak satu pun perahu yang tampak di tepi sungai.

“Bu, bagaimana caranya kita menyeberangi sungai ini?” tanya Kleting Ijo kebingungan.

“Iya, Bu! Apa yang harus kita lakukan?” tambah Kleting Biru.

“Hai, coba lihat itu! Makhluk apa itu?” seru Kleting Abang.

Betapa terkejutnya Nyai Intan dan ketiga putrinya ketika mengetahui bahwa makhluk itu adalah seekor kepiting raksasa yang sedang terapung di atas permukaan air. Menurut cerita, kepiting raksasa yang bernama Yuyu Kangkang itu adalah utusan Ande Ande Lumut untuk menguji para peserta sayembara yang melewati sungai itu.

“Hai, Kepiting Raksasa! Maukah kamu membantu kami menyeberangi sungai ini?” pinta Kleting Abang.

Yuyu Kangkang tertawa lebar.

“Ha... ha... ha...!!! Aku akan membantu kalian, tapi kalian harus memenuhi satu syarat,” ujar Yuyu Kangkang.

“Apakah syaratmu itu, hai Kepiting Raksasa? Katakanlah!” desak Kleting Ijo. “Apapun syaratmu, kami akan memenuhinya asalkan kami dapat menyeberangi sungai ini.”

“Kalian harus menciumku terlebih dahulu sebelum aku mengantar kalian ke seberang sungai,” kata Yuyu Kangkang.

Akhirnya, Kleting Abang dan kedua adiknya menerima persyaratan Yuyu Kangkang. Satu persatu mereka mencium si Yuyu Kangkang. Setelah itu, Yuyu Kangkang pun mengantar mereka ke seberang sungai. Selang beberapa saat kemudian, Kleting Kuning juga tiba di tepi sungai. Ketika Yuyu Kangkang mengajukan persyaratan yang sama, yaitu meminta imbalan ciuman, Kleting Kuning menolaknya. Ia tidak ingin menghianati suaminya. Meski ia tidak mau memenuhi syarat itu, ia tetap memaksa si Yuyu Kangkang untuk membantunya menyeberangi sungai. Berkali-kali Kleting Kuning memohon, namun kepiting raksasa itu tetap menolak, kecuali Kleting Kuning mau memenuhi syarat itu.




Kleting Kuning pun mulai habis kesabarannya. Ia segera memukulkan cambuknya ke sungai dan seketika itu pula air Sungai Bengawan Solo menjadi surut. Melihat hal itu, Yuyu Kangkang menjadi ketakutan dan segera menyeberangkan Kleting Kuning, dan bahkan sekaligus mengantarnya hingga sampai di Desa Dadapan.

Setibanya di rumah Nyai Intan, Kleting Kuning bertemu dengan ketiga saudara dan ibu angkatnya. Tak berapa lama kemudian, sayembara pun dimulai. Secara bergiliran, Kleting Abang dan kedua adiknya menunjukkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya di hadapan Ande Ande Lumut. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang dipilih oleh Ande Ande Lumut. Melihat hal itu, Nyai Intan pun berlutut memohon kepada Ande Ande Lumut agar memilih salah satu putrinya untuk dijadikan permaisuri.

“Ampun, Pangeran! Hamba mohon, terimahlah salah seorang dari ketiga putriku ini! Kurang cantik apalagi mereka dengan dandanan yang sebagus itu?” iba Nyai Intan.

Ande Ande Lumut hanya tersenyum.

“Memang benar, ketiga putri Nyai cantik semua. Tapi, aku tetap tidak akan memilih seorang pun dari mereka,” kata Ande Ande Lumut tanpa memberikan alasan.

“Pengawal! Tolong panggilkan gadis yang berbaju kuning itu kemari!” seru Ande Ande Lumut sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang duduk paling belakang.

Rupanya, gadis yang ditunjuk oleh Ande Ande Lumut itu adalah Kleting Kuning. Ketika Kleting Kuning menghadap kepadanya, pangeran tampan itu bangkit dari singgasananya.

“Aku memilih gadis ini sebagai permaisuriku,” kata Ande Ande Lumut.

Betapa terkejutnya semua orang yang hadir di tempat itu, terutama Nyai Intan dan ketiga putrinya.

“Ampun, Pangeran! Kenapa Pangeran lebih memilih gadis yang tak terurus itu dari pada ketiga putriku yang cantik dan menarik ini?” tanya Nyai Intan ingin tahu.

Ande Ande Lumut kembali tersenyum, lalu berkata:

“Wahai, Nyai Intan! Ketahuilah, aku tidak memilih seorang pun dari putrimu, karena mereka ‘bekas’ si Yuyu Kangkang. Aku memilih gadis ini, karena dia lulus ujian, yakni menolak untuk mencium si Yuyu Kangkang,” jelas Ande Ande Lumut.

Mendengar penjelasan itu, Nyai Intan dan ketiga putrinya baru sadar bahwa mereka ditolak oleh Ande Ande Lumut karena tidak lulus ujian. Sementara itu, Kleting Kuning masih kebingungan, karena belum menemukan suaminya. Namun, setelah Ande Ande Lumut membongkar penyamarannya bahwa dirinya adalah Panji Asmarabangun, barulah Kleting Kuning sadar. Dengan cambuk sakti pemberian si burung bangau, ia segera mengubah dirinya menjadi seorang putri yang cantik jelita. Panji Asmarabangun baru sadar ternyata Klenting Kuning adalah istrinya, Dewi Sekartaji. Akhirnya, sepasang suami istri yang saling mencintai itu bertemu kembali dan hidup berhagia. Sebagai ucapan terima kasih kepada Mbok Randa, Panji Asmarabangun membawanya serta tinggal di istana Jenggala. Sementara Nyai Intan dan ketiga putrinya kembali ke desanya dengan perasaan kecewa dan malu.


Kaitan Cerita : Bersatunya kembali Kerajaan Jenggala dan Panjalu

Keong Mas ( Panji Asmorobangung dan Galuh Condro Kirono )


 


Keesokan hari, Seperti biasa Mbok Rondo Dadapan menuju kesungai untuk mencari ikan. Setibanya dirumah ia jadi terheran-heran. Didapatinya rumahnya yang rapi, teratur dan bersih. Selain itu, berbagai hidangan lezat telah tersedia di meja. Siapa gerangan yang telah berbaik hati dan bersusah payah melakukan itu semua? Mbok Rondo Dadapan tidak tahu bahwa kehadiran Keong Emas telah membawa berkah bagi dirinya.
Keanehan itu telah berlangsung selama beberapa hari. Mbok Rondo Dadapan
Pada Keong Emas akan dijumpai dua sejoli : Putri Galuh Condro Kirono, putri kerajaan Jenggala dan Raden Panji Inu Kertapati, Pangeran dari kerajaan Daha. Kebahagian pasangan ini terusik oleh kedatangan seorang Raja dari Kerajaan Antah Berantah yang berminat menyunting Putri Galuh secar paksa. Sang putri yang tak sudi dipersunting raja tersebut memutuskan untuk melarikan diri dan menyamar sengan nama Dewi Sekartaji.

Petaka yang menimpa Dewi Sekartaji rupanya tak lepas dari pengamatan para penguasa kahayangan. Barata Narada menurunkan kesaktiannya dan membantu menyelamatkan Dewi Sekartaji yang terus dalam pelarian dengan mengubahnya menjadi seekor Keong Emas. Berdasarkan petunjuk dewa, mulailah Keong Emas mengembara. Tanpa kenal lelah ditelusurinya sungai dan lembah. Kemilau yang dipancarkan keong Emas memberikan kesan yang istimewa sehingga tangan lembut seorang janda tua tertarik untuk mengangkat dan membelainya. Janda itu, Mbok Rondo Dadapan membawa Keong Emas untuk dipelihara. Ditempatkannya Keong Emas di dalam tempayan penyimpan air.

 tak dapat lagi menahan rasa keingintahuannya. Akhirnya ia memutuskan akan menyelidiki. Beberapa saat setelah meninggalkan rumah, Mbok Rondo Dadapan kembali pulang. Ia berjingkat-jingkat dimuka pintu dan celah dinding diawasinya keadaan dalam rumah. Sekonyong-konyong dari dalam tempayan muncul putri yang sangat cantik. Dengan cekatan putri itu mengerjakan semua pekerjaan di rumah itu dan segera setelah semua beres sang putri sirna lagi dalam tempayan. Bergegaslah Mbok Rondo Dadapan memeriksa isi tempayan itu tapi tak ada yang dijumpai selain Keong Emas.


Keesokan harinya, kembali Mbok Rondo Dadapan berpura-pura meninggalkan rumah. Diintipnya lagi keadaan rumah dari luar. Diintipnya lagi keadaan rumah dari luar Setelah putri cantik itu muncul segera Mbok Dadapan menerobos kedalam rumah. Diambilnya rumah Keong emas dan dipecah hingga berkeping-keping. Putri cantik itu tercenung menyaksikan kejadian itu. Tammatlah sudah perjalanan Keong Emas. Dengan senang hati, Sang putri yang tak lain merupakan penjelmaan Dewi Sekartaji diangkat anak oleh Mbok Rondo Dadapan. Kecantikan Dewi Sekartaji segera tersiar di seputar bahkan hingga desa yang cukup jauh juga dari Dadapan.


Sepeninggal Dewi Galuh Condro Kirono, Raden Panji Inu Kertapati merasa gelisah dan tak betah untuk tinggal di istana. Ia berniat mengembara untuk mencari istri tercinta. Dalam pengembaraannya Raden Inu menyamar dengan nama Raden Panji Asmorobangun. Berita kehadiran seorang putri cantik di desa Dadapan sampai pula ketelinga Raden Panji Asmorobangun. Ada rasa tertarik pada dirinya untuk menemui putri tersebut dan rupanya telah menjadi kehendak dewata untuk mempertemukam mereka didesa Dadapan.
Dengan air mata bahagia mereka akhiri pengembaraan tersebut. Setelah beberapa hari beristirahat di desa Dadapan, kembalilah Raden Panji Inu Kertapati dan Putri galuh Condro Kirono ke kerajaan. Dan tak lupa diiringi oleh Mbok Rondo Dadapan yang telah berjasa merawat Keong Emas


Sumber : Keongemas.TMII

29/05/11

Selamat Datang

B.Candi Prambanan








Roro Jongrang (Cinta Dan Dendam)



Alkisah pada zaman dahulu kala di Jawa Tengah terdapat dua kerajaan yang bertetangga,Kerajaan Pengging dan Kerajaan Baka. Pengging adalah kerajaan yang subur dan makmur, dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana bernama Prabu Damar Maya. Prabu Damar Maya memiliki putra bernama Raden Bandung Bandawasa, seorang ksatria yang gagah perkasa dan sakti. Sedangkan kerajaan Baka dipimpin oleh raja denawa (raksasa) pemakan manusia yang kejam bernama Prabu Baka. Dalam memerintah kerajaannya, Prabu Baka dibantu oleh seorang Patih bernama Patih Gupala yang juga adalah raksasa. Akan tetapi meskipun berasal dari bangsa raksasa, Prabu Baka memiliki putri yang sangat cantik jelita bernama Rara Jonggrang. Prabu Baka berhasrat memperluas kerajaannya dan merebut kerajaan Pengging, karena itu bersama Patih Gupala mereka melatih balatentara dan menarik pajak dari rakyat untuk membiayai perang.
Setelah persiapan matang, Prabu Baka beserta balatentaranya menyerbu kerajaan Pengging. Pertempuran hebat meletus di kerajaan Pengging antara tentara kerajaan Baka dan tentara kerajaan Pengging. Banyak korban jatuh dari kedua belah pihak. Akibat pertempuran ini rakyat Pengging menderita kelaparan, kehilangan harta benda, banyak di antara mereka yang tewas. Demi mengalahkan para penyerang, Prabu Damar Moyo mengirimkan putranya, Pangeran Bandung Bondowoso untuk bertempur melawan Prabu Baka. Pertempuran antara keduanya begitu hebat, dan berkat kesaktiannya Bandung Bondowoso berhasil mengalahkan dan membunuh Prabu Baka. Ketika Patih Gupolo mendengar kabar kematian junjungannya, ia segera melarikan diri mundur kembali ke kerajaan Baka.
Pangeran Bandung Bondowoso mengejar Patih Gupolo hingga kembali ke kerajaan Baka. Ketika Patih Gupolo tiba di Keraton Baka, ia segera melaporkan kabar kematian Prabu Baka kepada Putri Rara Jongrang. Mendengar kabar duka ini sang putri bersedih dan meratapi kematian ayahandanya. Setelah kerajaan Baka jatuh ke tangan balatentara Pengging, Pangeran Bandung Bondowoso menyerbu masuk ke dalam Keraton (istana) Baka. Ketika pertama kali melihat Putri Rara Jonggrang, seketika Bandung Bondowoso terpikat, terpesona kecantikan sang putri yang luar biasa. Saat itu juga Bandung Bondowoso jatuh cinta dan melamar Rara Jonggrang untuk menjadi istrinya. Akan tetapi sang putri menolak lamaran itu, tentu saja karena ia tidak mau menikahi pembunuh ayahandanya dan penjajah negaranya. Bandung Bondowoso terus membujuk dan memaksa agar sang putri bersedia dipersunting. Akhirnya Rara Jonggrang bersedia dinikahi oleh Bandung Bondowoso, tetapi sebelumnya ia mengajukan dua syarat yang mustahil untuk dikabulkan. Syarat pertama adalah ia meminta dibuatkan sumur yang dinamakan sumur Jalatunda, syarat kedua adalah sang putri minta Bandung Bondowoso untuk membangun seribu candi untuknya. Meskipun syarat-syarat itu teramat berat dan mustahil untuk dipenuhi, Bandung Bondowoso menyanggupinya.
Segera dengan kesaktiannya sang pangeran berhasil menyelesaikan sumur Jalatunda. Setelah sumur selesai, dengan bangga sang Pangeran menunjukkan hasil karyanya. Putri Rara Jonggrang berusaha memperdaya sang pangeran dengan membujuknya untuk turun ke dalam sumur dan memeriksanya. Setelang Bandung Bondowoso masuk ke dalam sumur, sang putri memerintahkan Patih Gupolo untuk menutup dan menimbun sumur dengan batu, mengubur Bondowoso hidup-hidup. Akan tetapi Bandung Bondowoso yang sakti dan kuat gagah perkasa berhasil keluar dengan mendobrak timbunan batu itu. Sang pangeran sempat dibakar kemarahan akibat tipu daya sang putri, akan tetapi berkat kecantikan dan bujuk rayunya, sang putri berhasil memadamkan kemarahan sang pangeran.
Untuk mewujudkan syarat kedua, sang pangeran bersemadi dan memanggil makhluk halus, jin, setan, dan dedemit dari dalam bumi. Dengan bantuan makhluk halus ini sang pangeran berhasil menyelesaikan 999 candi. Ketika Rara Jonggrang mendengar kabar bahwa seribu candi sudah hampir rampung, sang putri berusaha menggagalkan tugas Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi. Ia kemudian memerintahkan agar membakar jerami di sisi timur. Mengira bahwa pagi telah tiba dan sebentar lagi matahari akan terbit, para makhluk halus lari ketakutan bersembunyi masuk kembali ke dalam bumi. Akibatnya hanya 999 candi yang berhasil dibangun dan Bandung Bondowoso telah gagal memenuhi syarat yang diajukan Rara Jonggrang. Ketika mengetahui bahwa semua itu adalah hasil kecurangan dan tipu muslihat Rara Jonggrang, Bandung Bondowoso amat murka dan mengutuk Rara Jonggrang menjadi batu. Maka sang putri pun berubah menjadi arca yang terindah untuk menggenapi candi terakhir. Menurut kisah ini situs Keraton Ratu Baka di dekat Prambanan adalah istana Prabu Baka, sedangkan 999 candi yang tidak rampung kini dikenal sebagai Candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama di Prambanan adalah perwujudan sang putri yang dikutuk menjadi batu dan tetap dikenang sebagai Lara Jonggrang yang berarti "gadis yang ramping".